HARIAN
BERANTAS, JAKARTA - Saat melapor ke polisi mengenai suatu kasus atau masalah,
tidak jarang pengaduan tidak ditanggapi atau bahkan tidak ditindaklanjuti
karena berbagai faktor. Tebang pilih disertai pembiaran secara selektif
terhadap pelaku kejahatan juga telah mendarah daging dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Hal ini memang
bukan rahasia umum di kalangan kepolisian jika setiap laporan atau pengaduan
masyarakat jarang ditanggapi dengan serius bahkan tidak ditindaklanjuti dengan
berbagai alasan dan faktor yang dibangun oleh pihak kepolisian sendiri.
Idealnya
Polri sebagai garda terdepan penegakan hukum di bidang tindak pidana umum
dilarang menolak atau mengabaikan permintaan bantuan, atau laporan dan
pengaduan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugas, fungsi, dan
kewenangannya.
Demikian
dikatakan Riswan Pasaribu, salah satu Kakak korban penganiayaan disertai pengeroyokan yang dilakukan
komplotan preman berinisial Jaya Manurung dan Ateng Sinaga terhadap Maruli Tua
Pasaribu (44) yang terjadi di Dusun IV Nagori Raja Maligas II, Kecamatan Huta
Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, Sabtu (6/11/21) sekitar pukul 22.00 WIB.
Foto usai membuat laporan sejumlah perkara lainnya saat di halaman sentra pelayanan pengaduan divisi Propam di Jakarta, Rabu (06/04/22).
Menurutnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang
Kode Etik Profesi Polisi (KEPP). Anggota polisi yang melanggar aturan etika
dapat dikenakan sanksi.
Terkait
kejadian ini, dalam waktu dekat pihaknya berencana akan membuat laporan
pengaduan ke Divisi Propam Mabes Polri baik secara langsung maupun melalui
email.
Riswan
menambahkan, pelapor dapat mengontrol kinerja kepolisian dalam menangani
laporan dengan meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pemeriksaan
(SP2HP).
''Jika
laporan pengaduan diabaikan oleh polisi, pelapor bisa membuat pengaduan.
Menerima SP2HP adalah hak setiap pelapor,''tegasnya kepada wartawan, di halaman
sentra pelayanan pengaduan divisi Propam di Jakarta, Rabu (06/04/22).
Dikatakannya,
hal itu terpaksa akan dilakukan oleh
pihaknya lantaran pengaduan dari korban (Maruli-Red) yang tak lain
merupakan adik kandungnya ini hingga kini belum mendapat perhatian yang serius.
Ia juga
menegaskan, para pelaku merasa kebal hukum lantaran masih bebas berkeliaran
seolah-olah polisi Polsek Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun tak berdaya
menghadapi komplotan ini.
“Jika ada
indikasi penundaan (undue delay) yang misalnya tidak ada SP2HP, tidak ada
perkembangan atau upaya yang dilakukan polisi, maka selain Propam, pelapor juga
bisa melaporkan ke lembaga pengawas seperti Kompolnas dan Ombudsman RI,”
terangnya.
Ia
menambahkan, pelapor juga berhak menggugat praperadilan ke pengadilan negeri
setempat untuk menguji jika ditemukan ada penghentian penyidikan.
“Yang pasti
adalah tugas dan tanggung jawab polisi untuk mencari alat bukti, apalagi dalam
kasus yang alat buktinya hanya polisi yang punya otoritas kewenangan untuk
mendapatkannya, seperti visum et repertum, visum psikiatrikum, keterangan
saksi, atau bahkan barang bukti lainya seperti petunjuk seperti CCTV jika
ada," katanya.
“Tidak bisa
dibebankan kepada korban, meskipun untuk kepentingan korban atau pelapor juga
harus diperoleh sebisa mungkin,” pungkasnya.
Seperti
diketahui, laporan kasus pemukulan dengan pengeroyokan yang diduga dilakukan
oleh dua orang komplotan preman berinisial Jaya M dan Ateng S di Dusun IV
Nagori Raja Maligas II, Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, Sabtu
(6/11/2021) telah terdaftar di Polsek Tanah Jawa, dengan bukti Surat Tanda
Terima Laporan (STTL), Nomor : 150/XI/2021/SU/Simal Sek, T. Jawa Tanggal 07
November 2021, didukung dengan bukti, 1 lembar Visum Et Repertum (VER)
beserta pernyataan keterangn saksi.
(Zosa)