Foto Dok Kementerian Pertanian |
HARIAN BERANTAS,
JAKARTA - Dampak perubahan iklim menjadi salah satu tantangan besar bagi
pertanian Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin
Limpo menyampaikan kepada seluruh
jajarannya agar serius menghadapi tantangan perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim
(DPI) akan mengakibatkan penurunan produtivitas, sehingga mempengaruhi
kebutuhan bahan pangan bagi 273 juta penduduk Indonesia.
“Perlu saya tekankan
bahwa saat ini kita membutuhkan langkah adaptasi dan mitigasi yang tepat untuk
mengamankan produksi pangan dalam negeri. Kita akan melakukan segala cara untuk
mengantisipasi terjadinya serangan hama, penyakit tanaman, dan perubahan iklim
yang tidak menentu," ujar Mentan SYL.
Terkait DPI, Direktur
Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menyatakan bahwa efeknya memang dapat
menjadi ancaman bagi subsektor hortikultura, terutama untuk komoditas strategis
seperti aneka cabai dan bawang merah. Untuk itu, Prihasto mengerahkan jajaran
fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) di Direktorat
Jenderal Hortikultura untuk melakukan upaya mitigasi gas rumah kaca (GRK).
“Saat ini, kami telah
melakukan langkah konkret dengan melakukan pengukuran gas rumah kaca pada
komoditas strategis hortikultura seperti cabai dan bawang merah. Para
fungsional POPT telah kami terjunkan ke lapangan," jelas Prihasto.
Lebih lanjut, Prihasto
mengungkapkan bahwa tahun 2022 Direktorat Jenderal Hortikultura akan
menganalisis perbandingan budidaya ramah lingkungan dan budidaya konvensional
di kampung sayuran.
"Nanti kita akan
lihat, budidaya mana yang akan memberikan kontribusi yang besar dalam penurunan
GRK,” tambahnya.
Di lokasi berbeda, Plt.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Inti Pertiwi Nashwari menuturkan bahwa
Direktorat Perlindungan Hortikultura akan melakukan pengukuran GRK di Kampung
Bawang Merah, tepatnya di Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dan Kampung
Cabai di Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
“Kami sudah
berkoordinasi dengan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Pati
untuk pelaksanaan Pengukuran GRK ini,”
tuturnya.
Kordinator Dampak
Perubahan Iklim dan Bencana Alam, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Muh.
Agung Sunusi turut menjelaskan bahwa pengukuran konsentrasi GRK pada tanaman
bawang merah dan cabai fokus pada pengukuran CO2 dan N2O. Pengambilan sampel di
lapangan dimulai dari pengolahan tanah, pertumbuhan vegetatif sampai masa
generatif (panen).
“Pengukuran GRK untuk
komoditas bawang merah dilakukan 5 kali, yakni pada umur 0 Hari Setelah Tanam
(HST), 15 HST, 30 HST, 45 HST dan 60 HST. Sedangkan untuk komoditas cabai
pengukuran dilakukan pada umur 0 HST, 15 HST, 30 HST, 45 HST, 60 HST, 75 HST
dan 90 HST. Untuk cabai pengukuran lebih banyak karena mulai panen pada umur 3
bulan (90 HST). Berdasarkan pantauan di lapangan pengukuran dan pengambilan
sampel mulai di lakukan pada minggu ke 3 Maret,” papar Agung.
Cabai Ramah Lingkungan
Siap Mengamankan Pasokan Lebaran
Berdasarkan hasil
kunjungan dan pantauan lapangan, Kabupaten Sleman untuk 3 (tiga) bulan ke
depan siap mengamankan ketersediaan aneka cabai di D.I Yogyakarta dan
Jabodetabek.
Wakil Bupati Sleman,
Danang Maharsa menjelaskan bahwa luas panen Maret-Mei untuk komoditas cabai
merah seluas 73 ha tersebar di Kecamatan Turi, Pakem, Tempel, Sleman, Ngeplak,
Prambanan dan Kalasan. Sementara itu, untuk komoditas cabai rawit merah, luas
panen Maret-Mei sekitar 62 Ha tersebar di Kecamatan Pakem, Turi, Sleman,
Ngeplak dan Prambanan.
Secara gamblang, Danang
mengakui bahwa data ketersediaan aneka cabai di Sleman dipastikan aman dan
diharapkan bisa memasok Jabodetabek.
“Saat ini kondisi harga
membaik dan menguntungkan petani, sehingga kelompok tani dan gapoktan
bersemangat untuk menambah luas tambah tanam. Pantauan harga di Pasar Lelang
Pakem untuk cabai merah keriting Rp 35 ribu dan cabai rawit merah Rp 49
ribu," ujar Danang.
Ketua Kelompok Tani
Sido Arum, Desa Wonokerto Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Juniantoro
memperkirakan luas panen bulan Maret sampai Mei di wilayah binaannya mencapai
sekitar 10 ha dan didominasi cabai rawit merah serta menerapkan budidaya ramah
lingkungan.
“Kelompok binaan kami
semakin tertarik dengan budidaya ramah lingkungan, hal ini terlihat dari
semangat para anggota kelompok dalam memanfaatkan pestisida nabati, PGPR dan
Trichoderma serta penanaman refugia. Terlihat juga produksinya bersih, daging
buah tebal dan mengkilap sehingga daya simpan nya lebih awet,” ungkapnya.
Hal senada juga
disampaikan oleh Ketua Gapoktan Sido Lestari,
Desa Lumbung Reja, Kecamatan Tempel. Luas panen Maret sampai Mei seluas
7 Ha dengan kondisi pertanaman ada serangan fusarium, thrips dan Virus Gemini,
namun semuanya dapat teratasi.
‘’Kami bersama tim Regu
Pengendali Ramah Lingkungan kompak dan sigap dalam menyelesaikan permasalahan
ini. Anggota kelompok dalam berbudidaya telah menggunakan PGPR, Tricoderma, Pupuk
Organik Cair, rebusan empon-empon dan penanaman refugia di sekitar tanaman
cabai. Saat ini sudah masuk petikan ketiga dan anggota lainnya petikan kelima.
Permasalahan yang kami alami adalah minimnya sarana fasilitasi klinik tanaman,
di mana saat ini pembelian bahan pestisida nabati swadaya dari kelompok.
Harapan kami Ditjen Hortikultura bisa memfasilitasi klinik tanaman tahun
ini," tutupnya.