Wisnu Wardoyo, Pembina Kelompok Tani Sukatani 2, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat |
Editor : Riswan Pasaribu
HARIAN
BERANTAS, CIANJUR - Peningkatan volume ekspor produk pertanian melalui program
unggulan Gerakan Tiga Kali Ekspor (GraTiEks) Kementerian Pertanian selalu
digaungkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) di berbagai
kesempatan. Dengan meningkatnya kemampuan petani untuk melakukan ekspor, maka
akan berdampak pula pada meningkatnya kesejahteraan mereka.
Dalam
usahanya untuk turut menyukseskan GraTiEks, Direktorat Jenderal Hortikultura
memiliki program prioritas Kampung Hortikultura. Program ini mengusung konsep
One Village One Variety (OVOV) dan dibangun dalam 1 (satu) wilayah
administratif desa. Untuk 1 kampung buah dan sayur, luasan lahan yang
diperlukan minimal adalah 10 Ha. Sementara itu, untuk 1 kampung tanaman obat
diperlukan lahan minimal seluas 5 Ha.
Direktur
Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto mengungkapkan bahwa tujuan Kampung
Hortikultura tidak semata-mata hanya untuk membentuk kawasan hortikultura dalam
skala besar, tetapi tujuan utamanya adalah kesejahteraan petani.
“Tujuan
terbentuknya kampung hortikultura bukan hanya kawasan hortikultura berskala
besar namun berujung pada kesejahteraan petani. Semua kami bina mulai dari
bimbingan GAP (Good Agricultural Practices) selama budidaya hingga GHP (Good
Handling Practices). Benih yang diberikan juga benih bermutu. Kami juga kawal
aspek perlindungan dan pascapanennya,” ungkap Prihasto.
Salah satu
Kampung Hortikultura yang sudah mulai berjalan adalah Kampung Alpukat di lokasi
Kelompok Tani (Poktan) Sukatani 2, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. Ditjen Hortikultura memberikan bantuan untuk pengembangan
Kampung Alpukat di Desa Sukadana seluas 10 ha pada TA 2021. Adapun alpukat yang
dikembangkan di Kampung Alpukat Desa Sukadana merupakan varietas mentera atau
mentega merah.
Kepala
Seksi Produksi Tanaman Hias dan Buah-buahan Dinas Pertanian, Perkebunan, Pangan
dan Hortikultura Kabupaten Cianjur, Yatti Rachmawati menyatakan pemilihan
alpukat sebagai komoditas yang dikembangkan sangatlah tepat karena buah ini
juga merupakan komoditas buah yang diprioritaskan di Cianjur.
“Alpukat
ini menjadi salah satu komoditas buah yang diprioritaskan di Cianjur. Oleh
karena itu, Poktan Sukatani 2 sebagai penerima bantuan sangat antusias dalam
mengembangkan Kampung Alpukat ini. Untuk lokasi, Desa Sukadana dipilih karena
ada kesesuaian agroklimat untuk komoditas alpukat. Kemudian, di sini ada
potensi dan kompetensi dari para petaninya untuk mengembangkan alpukat varietas
mentera,” ujar Yatti.
Ketua
Poktan Sukatani 2 atau yang dikenal juga dengan Kelompok Agrofarm, H. Karmawan
menjelaskan bahwa Kampung Alpukat ini sudah berjalan 3 (tiga) bulan sejak
penanaman perdana di Oktober 2021, yang turut dihadiri oleh Direktur Buah dan
Florikultura, Liferdi Lukman. Sejauh ini, perkembangan Kampung Alpukat
dinilainya sangat bagus.
“Dari
1000 pohon, hanya 26 pohon saja yang gagal tumbuh. Selebihnya, berhasil tumbuh
dengan baik dan terlihat perkembangannya sangat bagus. Pohon alpukat ini dalam
3 tahun ke depan juga diharapkan tidak hanya menghasilkan alpukat saja, tetapi
bisa menjadi pohon naungan bagi tanaman lain, seperti kopi dan asparagus. Ini
bukti bahwa Agrofarm mengembangkan sistem integrated farming,” jelas Karmawan.
Karmawan
menjelaskan, pohon-pohon alpukat ini mulai bisa panen di tahun ke-4 dengan
estimasi pendapatan total Rp137.500.000 dalam 3 kali panen dan diperkirakan
dapat balik modal atau BEP di tahun ke-5. Keuntungan ini diharapkan mampu terus
bertambah dengan pengembangan Kampung Alpukat di lahan kosong yang masih
tersedia di Desa Sukadana.
“Harapannya,
Kampung Alpukat ini mampu berkelanjutan. Masih ada ratusan hektare lahan kosong
di desa ini. Jadi, jika nanti Kampung Alpukat di sini berhasil, saya rasa bisa
dikembangan juga di lahan-lahan kosong tersebut,” ujarnya.
Bicara
mengenai integrated farming, Pembina Agrofarm, Wisnu Wardoyo bercerita bahwa
Agrofarm memang telah mengimplementasikan integrated farming. Di Agrofarm,
tidak hanya ada lahan pertanian saja, tetapi juga peternakan untuk menyediakan
pupuk kandang organik dan perikanan sebagai barometer pencemaran.
“Di sini,
sistemnya adalah integrated farming. Termasuk dari pupuknya yang menggunakan
pupuk alami dari kotoran hewan yang ada di peternakan kami. Jadi, kita tidak
membeli pupuk dari luar. Dengan integrated farming, biaya produksi dapat lebih
hemat bisa sekaligus melakukan penanaman beberapa tanaman, dan setiap hari
selalu ada yang dipanen, sehingga jauh lebih menguntungkan,” jelas Wisnu.
Selain
alpukat, di lahan Agrofarm juga turut ditanami dengan asparagus dan buncis.
Menurut Wisnu, kombinasi ketiga tanaman ini dipilih karena pemupukannya dapat
dilakukan sekaligus. Dengan memberi pupuk ke tanaman asparagus dan buncis, maka
pohon alpukat tidak perlu diberi pupuk lagi sebab bisa mengambil residu pupuk
dari asparagus dan buncis.
Lebih
lanjut, Wisnu mengungkapkan bahwa keberlanjutan Kampung Alpukat ini ada di
tangan petani-petani milenial. Dengan sistem integrated farming yang digunakan
oleh Agrofarm, ini dapat menjadi kesempatan bagi para petani milenial untuk
dapat mengembangkan pertanian yang berkelanjutan dan menghasilkan keuntungan
lebih banyak.
“Usaha
pengembangan Kampung Alpukat harus dibantu oleh petani milenial yang
berwawasan, mandiri, dan mampu memanfaatkan teknologi. Campur tangan petani
milenial ini diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan penduduk yang
menjadi tenaga kerja di luar negeri (TKI) karena penghasilan di kampungnya
sendiri sebagai petani sudah sangat mencukupi,” tutup Wisnu.